Selasa, 26 Juni 2007

Budaya Rakyat VS Hedonisme

Tadi malam, selesai raat team LK II di Cabang aku langsung menuju alun-alun utara. Beberapa hari yang lalu aku baca iklan di KR bahwa di sana akan ada show dangdut dan campur sari, Cak Dikin dan New Trio Macan. Benar aja sesampai di sana halaman keratin itu sudah penuh. Semula kami (aku dan Ihab) menyangka sudah telat, karena memang kita datang sudah malam, tetapi ternyata Cak dikin dan Trio Macan belum tampil, baru artis-artis local saja.
Aku meransangk maju setelah memarkir motor di dekat pintu keluar. Pas waktu itulah Cak dikin keluar dengan algu pertamanya “Tragedi Tali Kutang”. Penontonpun langsung bersorak dan bergoyang. Saat itulah temanku berkata “ Wah budaya hedonis!” seru temanku. Sesaat aku berfikir, benarkah ini merupakan budaya hedonis? Aku tidak bisa menyimpulkannya langsung, tetapi terdiam sejenak dan baru aku menyela: “Ini adalah budaya rakyat, pesta rakyat”. Kita harus melihat ini secara luas. Untuk memahai hal tersebut kita harus terlebih dahulu mengetahui apa itu hedonisme, budaya rakyat, sampai pada konsepsi alun-alun.
Hedonisme
Berbicara tentang hedonisme, sedikit dijelaskan dalam Kamus Ilmiah Populer yang disusun oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry bahwa yang dimaksud dengan hedonisme adalah doktrin yang mengatakan bahwa kebaikan yang pokok dalam kehidupan adalah kenikmatan”. Dengan demikian yang menjadi falsafah hidup mereka adalah hidup ini haruslah berorientasi pada kenikmatan. Paham hedonisme ini tidak bisa kita lepaskan dari paham materialisme, sehingga kenikmatan yang dimaksud tidak lain adalah kenikmatan jasadiyah.
Budaya Rakyat
Saya memaknai budaya rakyat ini sebagai sesuatu yang berkembang pada tingkatan gress root atau rakyat bawah. Budaya ini berkembang sebagai perwujudan eksistensi mereka sebagai rakyat kecil dengan akses yang terbatas terhadap berbagai hal, termasuk seni.
Alun-Alun
Berbicara alun-alun, kita harus memahami tata kota yang ada di daerah kerajaan-kerajaan jawa tempo dulu. Kita bisa melihat bahwa tatakota pada kerajaan-kerajaan jawa terdiri dari keraton, masjid, pasar dan alun-alun. Dalam klarifikasi yang digunakan Geart maka keraton dapat kita tempatkan pada golongan priyayi, masjid adalah golongan santri, dan pasar adalah symbol bagi golongan abangan. Nah alun-alun terletak di antara keraton, masjid dan pasar. Fungsi alun-alun adalah sebagai tempat raja memberikan pengumuman kepada rakyatnya setelah berkonsultasi dengan para ulama, atau tempat raja memeberikan sedekah kepada rakyatnya setelah didoakan di masjid. Jika kita menggunakan istilah modern, maka alun-alun merupakan ruang publik. Sebagaiman funngsi ruang public, alun-alun merupakan tempat di mana masyarakat secara gratis bebas berekspresi, beraktivitas. Di sini pula masyarakat melepas penat setelah beraktifitas.
Musik dangdut identik dengan musik rakyat, musik kelas bawah, apalagi campur sari, yang merupakan kolaborasi seni musik jawa tradisional dengan musik modern. Tentu ini menjadi kegemaran bagi masyarakat jawa. Musik rakyat dan dipentaskan di ruang public dengan gratis, siapa yang tidak ingin. Dan tentu ini menjadi pesta rakyat tersendiri. Terkait dengan hedonisme, tidaklah semata-mata acara tersebut menjadi orientasi mereka, bisa jadi hnaya menjadi selingan dari dinamika kehidupan yang kompleks.
Ada teman yang bertanya, New Trio Macan masuk surga tidak ya? Wah terlalu rendah derajat kita untuk menghakimi orang. Bukankah dia telah menghibur banyak orang yang sedang dirundung berbagai permasalahan yang pelik akibat dan rekonstruksi yang belum tuntas, akibat mahalnya beras, minyak goring dan kebijakan-kebijakan lainnya yang makin menyengsarakan? Lalau bagaimana dengan jogedan mere3ka, baik penyanyi dan artisnya? Toh Rumi dalam menyatakan kecintaan pada-Nya juga dengan Tarian. Ini juga bukan justifikasi dia masuk surga lho, itukan hak preogratif Yang Mutlak.

Tidak ada komentar: