Sabtu, 28 Juli 2007

Budaya Baca

Sejak perpindahan perpustakaan UIN Suka ke gedung yang baru, mungkin dapat dihitung dengan jari tangan sebelahku, berapa sering aku berkunjung ke sana. Dan dua hari ini aku berturut-turut ke sana. Aku merasa bangga melihat perpustakaan yang begitu luas, dengan kursi megah yang tertata rapi di setiap lantai. Tapi sayang koleksinya sangat sedikit sekali. Rak-rak buku hanya terletak pada ujung-ujung ruangan dan hanya terisi beberapa baris buku saja. Itupun buku-buku koleksi dahulu kala meskipun koleksi yang lama, buku-buku klasik justru aku tidak melihatnya.
Ruangan yang luas dan full AC membuat aku betah di dalamnya, duduk di sudut ruangan itu. Suasana yang sepi, karena memang sedikit pengunjungnya membuat orang yang di sana bisa berkonsentrasi dengan bacaannya, diiringi oleh musik-musik instrumental. Namun ketenanganku berbeda ketika aku berada di lantai empat. Dengan koleksi dan tata ruang yang sama dengan tata ruang lainnya, tidak ada bedanya dengan ruang lainnya, hanya saja musik instrumental itu berbaur dengan suara musik yang berasal dari radio penjaga perpustakaan. Dan betapa ciut lagi hatiku tatkala melihat orang tersebut menghadap computer dengan tangan memegang dan memainkan mouse, asik dengan game-nya. Saya beranggapan bahwa itu hanya sekedar pelepas lelah saja, tetapi pandangan saya berubag setelah hari selanjutnya aktivitas itu tidak berubah. Inilah fenomena di perpustakaan kampus yang ingin mengusung peradaban besar. Namun saya yakin, hal seperti itu tidak hanya terjadi di perpustakaan tersebut saja, melainkan juga di perpustakaan-perpustakaan kampus-kampus besar lainnya.
Budaya baca memang menjadi sesuatu yang asing di negeri ini. Pada tingkatan dunia, Indonesia berada pada peringkat terendah dalam kasus ini. Sekolah-sekolah tingkat menengah di beberapa Negara Eropa telah mewajibkan siswanya untuk membaca sejumlah novel, tentu diluar bacaan wajib atau tex book. Selain itu orang akan selalu menggunakan waktu luangnya untuk membaca buku. Hal ini berbeda dengan realita di negeri ini. Orang lebih senang menggunakan waktunya untuk ngerumpi, nonton TV atau malah tidur.
Membaca bukan hanya pekerjaan pelajara atau mahasiswa saja, tetapi semua usia, semua profesi dan siapa saja hendaknya memahami betapa pentingnya kegiatan membaca, entah dia pelajar, ibu rumah tangga, paegawa kantor, di manapun mereka berada, apalagi karyawan perpustakaan (pustakawan?), di mana dia bergelut dengan buku setiap harinya. Bukankah filosof besar Immanuel Kant juga adalah seorang pustakawan.
Sedemikian urgennya aktivitas membac ini, sehingga wahyu yang pertama turun pada Muhammad SAW adalah iqra’, yaitu perintah untuk membaca. Bukan hanya sebatas membaca tulisan atau teks, tetapi membaca ciptaan Tuhan di dunia ini, ayat kauniyah dan qauliyyah. Dan pembacaan kita itu tidak terlepas dari prinsip-prinsip ke-Tuhan-an dan berorientasi pada ketuhanan. Andaikan masyarakat kita menyadari petpa pentingnya membaca sehingga membaca sebagaimana makan pizza, tentu negeri ini tidak akan terus-menerus dieksploitasi kekuatan asing karena kebodohan kita. Kemalasana, khususnya dalam membaca, akan berdampak pada kebodohan, dan kebodohan akan berlanjut pada kesengsaraan. Wallahu a’lam bish shawab.