Sabtu, 22 Desember 2007

Aku Puas Setelah Aku Merasa Lelah

Sabtu malam ahad, jam 22.30, kami (aku, Iqbal, Mustofa Habibi, and Lukman Hakim), melangkahka kaki keluar dari sekretariat HMI dengan satu tekat "ke Purworwjo naik bus dan paginya pulang jalan kaki lewat jalur selatan.

Setelah satu jam menunggu bus di ringroud selatan, akhirnya datang juga busnya. jam satu sampai di terminal Purworejo, kami menginap di musholla terminal. subuh bangun lalu memulai ekspedisi yang dinamai oleh temanku dengan nama ekspedisi JOJO alias Purworejo-Jogja.

Setelah berjalan satu jam, kami sampai di rumah fitri. ragu, antara mampir atau tidak. sengaja tidak menghubungi dia. surprise. eh, malah dia tidak ada, ke Jogja. Setelah menim kopi susu dan sarapan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan.

satu jam kemudian kami istirahat di perempatan di persimpanga jalan. panas mulai terasa, karena kami berjalan mengarah ke matahari terbit. mampir sejenak di warung, beli air minum dan gelang karet tuk kenang-kenangan.

pematang sawah terlewati, tiba di Jenar. kami mengira jalur selatan telah dekat, ternyata kami harus melewati kec. Purwodai terlebih dahulu. tiba di perempatan selanjutnya yang kami kira jalur selatan. bukan. masih sekitar 7 kilo lagi. dekat?

dua jam dari perempatan yang lalu, tiga kali isitrahat. namun jalur selatan belum aku temui. pematang sawah selalu menemani pemandangan kami. matahari di atas kepala.

jam 13.20 kami sampai di jalur selatan. perut terasa lapar dan haus. shalat dhuhur. sedikit agak lama kami istirahat, karena hujan mengguyur. jam 14.00 makan di warung gado-gado, lalu jalan lagi. setelah delapan KM jalan, hujan turun. kami rata-rata jalan 7 KM/jam. hujan belum reda hingga maghrib. kami ambil daun pisang dan jalan menuju musola. magrib dan isa. jam 19.30 kami jalan lagi.

Perut mulai terasa lapar. persedian air tipis. duit juga tipis. di bawah payung daun pisang kami melangkahkan kaki kami. namun karena terasa berat membawa daun, kami buang daun tersebut.

Kaki mulai melepuh dan mulai berat untuk melangkah. badan basah kuyup oleh hujan. perjalanan belum tahu berapa jauh lagi, karena memang belum pernah ada di antara kami yang lewat jalur selatan. kami seberangi kali, ternyata bukan progo. Kali progo yang kami tunggu juga belum terdengar gemericiknya.

22.30 kami istirahat di sebuah angkringan. nasi sudah habis, tinggal minuman hangat. kami tanya jarak ke sungai progo, karena kali itu perbatasan Kulon progo dengan Bantul. ternyata masih sekitar 15 KM lagi. kami sudah tidak kuat lagi.

23.30 kami menghadang truk yang lewat sana, kebetulan kosong. selam di atas truk kami pandangi jalan yang sunyi, ditambah rintikan hujan, tidak ada rumah penduduk. kami hanya mengulang kata-kata yang sejak siang tadi tidak henti kami lantunkan. la haula wa la kuwata illa billah. kami hanya menertawakan diri kami sendiri, membayangkan bila kami nekat jalan terus.

tiba di Jogja jam 00.30. makan, mandi, istirahat. kami hitung-hitung, jika rata-rata kami berjalan 7 KM/jam berarti kami telah menempuh jarak kurang lebih 90 km. sudah dipotong isitrahat. Aku memang lelah, tapi aku puas.

Rabu, 12 Desember 2007

Resah

hari-hari ini aku terlalu banyak omong
kritik sini kritik sana
hantam sini hantam sana
tak peduli apa dan siapa
pusat ataupun pinggir
atas ataupun bawah

aku bukan benci dia atau mereka
apalagi tidak menyokongnya
aku begini karena
aku cinta dia dan mereka

aku semula percaya ketika mereka bilang
komunitas kita adalah miniatur masyarakat madani
memberi tawaran sisitem alternatif

tapi, aku mulai ragu
ketika sistem itu sendiri macet
dikhianati oleh mereka yang mengaku pemimpin komunitas
ai macet karena inkonsistensi penggeraknya
atau mereka tidak tahu?
jika demikian, moga Tuhan mengampuninya

dan aku hanya bisa celoteh sana celoteh sini
karena aku tak ubahnya
katak di dalam gelas kaca
ku lihat realitas
namun ku tak bisa menjangkaunya

akhirnya kukatakan pada diriku
jangan kau bicara tentang bagaimana orang lain seharusnya
sementara kamu tidak melakukan apa yang seharusnya
tapi aku masih mencintai dia
himpunanku.

Sabtu, 28 Juli 2007

Budaya Baca

Sejak perpindahan perpustakaan UIN Suka ke gedung yang baru, mungkin dapat dihitung dengan jari tangan sebelahku, berapa sering aku berkunjung ke sana. Dan dua hari ini aku berturut-turut ke sana. Aku merasa bangga melihat perpustakaan yang begitu luas, dengan kursi megah yang tertata rapi di setiap lantai. Tapi sayang koleksinya sangat sedikit sekali. Rak-rak buku hanya terletak pada ujung-ujung ruangan dan hanya terisi beberapa baris buku saja. Itupun buku-buku koleksi dahulu kala meskipun koleksi yang lama, buku-buku klasik justru aku tidak melihatnya.
Ruangan yang luas dan full AC membuat aku betah di dalamnya, duduk di sudut ruangan itu. Suasana yang sepi, karena memang sedikit pengunjungnya membuat orang yang di sana bisa berkonsentrasi dengan bacaannya, diiringi oleh musik-musik instrumental. Namun ketenanganku berbeda ketika aku berada di lantai empat. Dengan koleksi dan tata ruang yang sama dengan tata ruang lainnya, tidak ada bedanya dengan ruang lainnya, hanya saja musik instrumental itu berbaur dengan suara musik yang berasal dari radio penjaga perpustakaan. Dan betapa ciut lagi hatiku tatkala melihat orang tersebut menghadap computer dengan tangan memegang dan memainkan mouse, asik dengan game-nya. Saya beranggapan bahwa itu hanya sekedar pelepas lelah saja, tetapi pandangan saya berubag setelah hari selanjutnya aktivitas itu tidak berubah. Inilah fenomena di perpustakaan kampus yang ingin mengusung peradaban besar. Namun saya yakin, hal seperti itu tidak hanya terjadi di perpustakaan tersebut saja, melainkan juga di perpustakaan-perpustakaan kampus-kampus besar lainnya.
Budaya baca memang menjadi sesuatu yang asing di negeri ini. Pada tingkatan dunia, Indonesia berada pada peringkat terendah dalam kasus ini. Sekolah-sekolah tingkat menengah di beberapa Negara Eropa telah mewajibkan siswanya untuk membaca sejumlah novel, tentu diluar bacaan wajib atau tex book. Selain itu orang akan selalu menggunakan waktu luangnya untuk membaca buku. Hal ini berbeda dengan realita di negeri ini. Orang lebih senang menggunakan waktunya untuk ngerumpi, nonton TV atau malah tidur.
Membaca bukan hanya pekerjaan pelajara atau mahasiswa saja, tetapi semua usia, semua profesi dan siapa saja hendaknya memahami betapa pentingnya kegiatan membaca, entah dia pelajar, ibu rumah tangga, paegawa kantor, di manapun mereka berada, apalagi karyawan perpustakaan (pustakawan?), di mana dia bergelut dengan buku setiap harinya. Bukankah filosof besar Immanuel Kant juga adalah seorang pustakawan.
Sedemikian urgennya aktivitas membac ini, sehingga wahyu yang pertama turun pada Muhammad SAW adalah iqra’, yaitu perintah untuk membaca. Bukan hanya sebatas membaca tulisan atau teks, tetapi membaca ciptaan Tuhan di dunia ini, ayat kauniyah dan qauliyyah. Dan pembacaan kita itu tidak terlepas dari prinsip-prinsip ke-Tuhan-an dan berorientasi pada ketuhanan. Andaikan masyarakat kita menyadari petpa pentingnya membaca sehingga membaca sebagaimana makan pizza, tentu negeri ini tidak akan terus-menerus dieksploitasi kekuatan asing karena kebodohan kita. Kemalasana, khususnya dalam membaca, akan berdampak pada kebodohan, dan kebodohan akan berlanjut pada kesengsaraan. Wallahu a’lam bish shawab.

Kamis, 28 Juni 2007

Peta Duniaku

1.Lampung
Berbicara Lampung, di sini akan dibagi menjadi dua,yaitu:
a.Wonorejo, tempat di mana aku lahir tumbuh dan dibesarkan. Mungkin kalau lebih sepesifik yaitu dusun wonorejo, desa wates (waktu itu) kec Padang Cermin, Lampung Selatan, Lampung 35451.
b.Sukarame
Sukarameadalah tempat aku menempuh pendidikan tingkat menenghaku, tepatnya diMadrasah Aliyah Keagamaan Negeri yang terintegreted di MAN 1 (MADALIANSA) Bandar Lampung. Selama tiga tahun di sini aku tinggal di Asrama MAKN, baik asrama alif maupun ba’.
2.Yogyakarat
i.Ambarukmo
Pertama kali datang ke kota pelajar ini aku tinggal bersama temanku di brebgai tempat, kadang di Demangan (Kosnya Tanto dkk), Concat (Asrama UII) atau Ngentak Sapen (Romy). Setelah positif diterima, ak tinggal di sebuah kontrakan yang terletak di daerah Ambarukmo, tidak jauh dari pasar. Di sana aku tinggal bersama Hartanto selama satu tahun, yatu semester pertama dan kedua. Kos yang aku tempati adalah milik bapak Broto yang sampai sekarang aku masih ingat dengan beliau.
ii.Kota Gede.
Kedatangan Qori dan Zayeng pada masa pendaftaran tahun baru sedikit membuat aku bingung. Mereka mengajak aku mondok alias nyantri. Beberapa pondok kita survey, namn yang menjadi pilihan kemudian adalah POndok Nurul Umah Kota Gede. Namun sebelum ke pondok aku sempat berfikir untuk jadi takmir di masjid al-iman Ambarukmo, namun aku hanya mampu bertahan satu malam di sana, lalu pindah ke Pondok. Selama mondok aku masih sering keliaran, sehingga aku merasa tiddak betah. Aku hanya mampu bertahan Selma satu semesater di ondok, sedangkan qori dan Jayeng tidak jauh beda, bahkan mereka yang memulai. Waktu adabeberapaanak ynag bersamaan keluar dari pondok, dan kebanyakan dari Lampung, sehingga nama Lampung sedikit tercoreng.
iii.Papringan
Setelah keluar dari Pondok semula kau mau bergabung dengan qori dan Jayeng yang mengontrak rumah di Kota Gede, namun aku mikir masalah transport jelas mahal, akhirnya aku mencari kontrakan yang dekat kampus dan dapat di daerah Papringan, tepatnya di Jalan Tutul no. 1. Hobi ku jalan and touring ku kambuh. Aku jarang di kos.
iv.Piyungan
Dusun Munggur, Desa Srimartani, Piyungan, adalah tempat candradimuka bagiu. Di sni aku mengikuti berbagai pelatihan HMI, dari LK 1 atau batra pada September-oktober 2004, LK II alias Intermidiate Training yang diadakan juga oleh HMI Komfak Tarbiyah pada bulan April 2005. pada pelaihan ini aku kenal banyak teman dariluar Jogja, yaitu Semarang, Purworejo, Jepara dan Wonosobo. Selanjutnya Senior Cours (SC), nama lain dari training kepemanduan, yaitu pada Bulan Desember 2005 yang diselenggarakan oleh kofak Adab.
v.Sapen
1.Marakom
Marakom adalah markas anggota komisariat, tempat tinggalnya para punggawa HMI. Kenapa aku tinggal di sana? Karena amanah yang diberikan kepadaku untuk menjadi ketua umum HMI komfak Tarbiyah, padahal kontrakanku masih setengah tahun lagi. Di sini aku tinggal selama dua tahun. Tahun kedua karena aku jadi sekretaris korkom. Tahun pertama di sini aku bersama Pak Dur, Ihab, Bowo, Jamul, Awaluddin, dan Muiz. Sementara tahun kedua formsi tidak jauh beda yaitu: aku, ihab, Muiz, Awal, Bowo Jondi, faiz, iqbal, dan jalal.
2.Rumah Kita
Rumah kita adalh tempatnya HMI putrid mengontrak dan tinggal. Aku sering ke sana memang kosolidsinyas erring di sana, dan selain tiu juga kadang cari hutangan. Di sana ada Mbak Loeloek, Anis, Rina , dina dll. Tapi sayang pas gempa 27 waktu iru RUKI hancur, tetapi semua selamat, sehingga selama tahun kepengurusanku di korkom tidak ada RUKI.
3.Tangga Demokrasi
Tangga ini terletak di depan masjid kampus UIN Sukijo. Aku sebutin tempat ini karena memang aku sering berada di tempat ini. Tangga tersebut adalah tempat di mana setiap elemen gerakan melakukan demonstrasi alias aksi. Di sana aku pula belajar orasi dan teriak-teriak.
4.Burjo
Di sinilah tempatnya anak-anak marakom makan mei, rokok, bubu kacang ijo, gorengan, yang tidak jarang bayarannya ditangguhkan alias hutang. So burjo adalah tempat anak-anak marakom hutang ketika tidak ada yang bisa dimakan lagi. Tidak peduli yang jaga berganti-ganti tetapi hutang tetap jalan terus.
5.Wisma Cinta
Katanya (guyon sih) di sini ada anak marakom yang menggantungkan cintanya, tapi tidak tahu siapa. Yang jelas WC ini adalah tempat pinjam motor dan helm.

Selasa, 26 Juni 2007

Budaya Rakyat VS Hedonisme

Tadi malam, selesai raat team LK II di Cabang aku langsung menuju alun-alun utara. Beberapa hari yang lalu aku baca iklan di KR bahwa di sana akan ada show dangdut dan campur sari, Cak Dikin dan New Trio Macan. Benar aja sesampai di sana halaman keratin itu sudah penuh. Semula kami (aku dan Ihab) menyangka sudah telat, karena memang kita datang sudah malam, tetapi ternyata Cak dikin dan Trio Macan belum tampil, baru artis-artis local saja.
Aku meransangk maju setelah memarkir motor di dekat pintu keluar. Pas waktu itulah Cak dikin keluar dengan algu pertamanya “Tragedi Tali Kutang”. Penontonpun langsung bersorak dan bergoyang. Saat itulah temanku berkata “ Wah budaya hedonis!” seru temanku. Sesaat aku berfikir, benarkah ini merupakan budaya hedonis? Aku tidak bisa menyimpulkannya langsung, tetapi terdiam sejenak dan baru aku menyela: “Ini adalah budaya rakyat, pesta rakyat”. Kita harus melihat ini secara luas. Untuk memahai hal tersebut kita harus terlebih dahulu mengetahui apa itu hedonisme, budaya rakyat, sampai pada konsepsi alun-alun.
Hedonisme
Berbicara tentang hedonisme, sedikit dijelaskan dalam Kamus Ilmiah Populer yang disusun oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry bahwa yang dimaksud dengan hedonisme adalah doktrin yang mengatakan bahwa kebaikan yang pokok dalam kehidupan adalah kenikmatan”. Dengan demikian yang menjadi falsafah hidup mereka adalah hidup ini haruslah berorientasi pada kenikmatan. Paham hedonisme ini tidak bisa kita lepaskan dari paham materialisme, sehingga kenikmatan yang dimaksud tidak lain adalah kenikmatan jasadiyah.
Budaya Rakyat
Saya memaknai budaya rakyat ini sebagai sesuatu yang berkembang pada tingkatan gress root atau rakyat bawah. Budaya ini berkembang sebagai perwujudan eksistensi mereka sebagai rakyat kecil dengan akses yang terbatas terhadap berbagai hal, termasuk seni.
Alun-Alun
Berbicara alun-alun, kita harus memahami tata kota yang ada di daerah kerajaan-kerajaan jawa tempo dulu. Kita bisa melihat bahwa tatakota pada kerajaan-kerajaan jawa terdiri dari keraton, masjid, pasar dan alun-alun. Dalam klarifikasi yang digunakan Geart maka keraton dapat kita tempatkan pada golongan priyayi, masjid adalah golongan santri, dan pasar adalah symbol bagi golongan abangan. Nah alun-alun terletak di antara keraton, masjid dan pasar. Fungsi alun-alun adalah sebagai tempat raja memberikan pengumuman kepada rakyatnya setelah berkonsultasi dengan para ulama, atau tempat raja memeberikan sedekah kepada rakyatnya setelah didoakan di masjid. Jika kita menggunakan istilah modern, maka alun-alun merupakan ruang publik. Sebagaiman funngsi ruang public, alun-alun merupakan tempat di mana masyarakat secara gratis bebas berekspresi, beraktivitas. Di sini pula masyarakat melepas penat setelah beraktifitas.
Musik dangdut identik dengan musik rakyat, musik kelas bawah, apalagi campur sari, yang merupakan kolaborasi seni musik jawa tradisional dengan musik modern. Tentu ini menjadi kegemaran bagi masyarakat jawa. Musik rakyat dan dipentaskan di ruang public dengan gratis, siapa yang tidak ingin. Dan tentu ini menjadi pesta rakyat tersendiri. Terkait dengan hedonisme, tidaklah semata-mata acara tersebut menjadi orientasi mereka, bisa jadi hnaya menjadi selingan dari dinamika kehidupan yang kompleks.
Ada teman yang bertanya, New Trio Macan masuk surga tidak ya? Wah terlalu rendah derajat kita untuk menghakimi orang. Bukankah dia telah menghibur banyak orang yang sedang dirundung berbagai permasalahan yang pelik akibat dan rekonstruksi yang belum tuntas, akibat mahalnya beras, minyak goring dan kebijakan-kebijakan lainnya yang makin menyengsarakan? Lalau bagaimana dengan jogedan mere3ka, baik penyanyi dan artisnya? Toh Rumi dalam menyatakan kecintaan pada-Nya juga dengan Tarian. Ini juga bukan justifikasi dia masuk surga lho, itukan hak preogratif Yang Mutlak.

Minggu, 24 Juni 2007

Perpisahan

Apa yang istimewa dari sebuah perpisahan? Bukankah sudah menjadi sunnatullah bahwa ketika ada pertemuan pastilah ada perpisahan? Bukankah ujung dari sebuah kebersamaan adalah kesendirian? Lalu mengapa perpisahan harus dirayakan?
Perpisahan seringkali mendatangkan duka dan kesedihan. Perpisahan kadang juga menyakitakan. Tapi tahukah kamu hikmah dari perpisahan? Perpisahan meninggalkan kenangan pada kita. Yang terpenting perpisahan menjadikan rasa rindu itu ada. Mana mungkin ada kerinduan jika kita selalu bersama? Rindu itu ada ketika berjarak. Rindu itu ada jika kebersamaan yang dijalani itu meninggalkan kesan yang indah untuk dikenang. Kerinduan itu ada karena keinginan untuk mengulang masa-masa indah itu. Ehhhh jangan kau berfikir untuk mengulang masa lalumu, karena itu hanya akan merusak bangunan kenangan. Biarlah dia tetap menjadi masa lalu, karena itulah kenangan. Lalu rindu? Yah biarlah kenangan itu menjadi bara yang membakar hati dan kerinduanmu.
Eh, ngomong masalah rindu, apakah kamu merindukan Tuhan? Jika benar merindukan Tuhan, itu berarti kamu masih berjarak dengan Tuhan. Aku sering mikir gitu. Padahal Tuhankan dekat sekali dengan kita. Dia bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Kita sering memikirkan Tuhan, kita sering berbicara tentang Tuhan, kita sering berdiskusi tentang Tuhan, bernyanyi tentang Tuhan, bahkan kadang menjadi Tuan, tapi kita jarang merasakan kehadiran Tuhan sebenarnya. Kita sering manafikan kehadiran Tuhan, dalam hal yang sepele sampai pada saat kita shalat pun kita jarang merasakan kehadiran Tuhan. Atau memang kita tidak pernah menghadirkannya? Kita sering berbicara "kebetulan", "kebetulan saya jadi …", "kebetulan saying sedang ini", "kebetulan saya tinggal di sini", dan lebih banyak lagi kata "kebetulan" kita gunakan. Padahal dengan peristiwa "kebetulan" itulah sebenarnya Tuhan menghadirkan dirinya.
Kembali kepada perpisahan, aku teringat puisi Gie. Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa // suatu ketika yang telah lama kita ketahui // ………… // aku masih di sini kasishku // bersama kehidupan yang mengaharu biru.

Marakom, 12052007